Instrumen Bank Sentral Indonesia dalam Mengelola Bank Syariah
Peraturan perbankan syariah tahun 1998, memungkinkan berkembangnya perbankan syariah dengan cepat. Terjadi peningkatan jumlah cabang syariah, baik dari bank umum yang berdasarkan syariah maupun divisi syariah bank umum konvensional. Meningkatnya kemampuan menyerap dana masyarakat terlihat dari dana simpanan yang tercantum di neraca bank-bank syariah tersebut. Hal tersebut mengharuskan Bnak Indonesia, sebagai bank sentral, lebih menaruh perhatian dan lebih berhati-hati dalam menjalankan fungsi pengawasan terhadap bank-bank umum, tanpa mengganggu momentum pertumbuhan bank-bank syariah tersebut.Terhadap bank-bank yang berdasarkan syariah islam, BI menjalankan fungsinya sebagai bank sentral dengan instrumen-instrumen sebagai berikut (Karim, 2002: 203-204):
1. Giro Wajib Minimum (GWM): Biasa dinamakan juga statory reserve requirement, adalah simpanan minimum bank-bank umum dalam bentuk giro pada BI yang besarnya ditetapkan oleh BI berdasarkan persentase tertentu dari dana pihak ketiga. GWM adalah kewajiban bank dalam rangka mendukung pelaksanaan prinsip-prinsip kehati-hatian perbankan (prudential bank) serta berperan sebagai instrumen moneter yang berfungsi mengendalikan jumlah peredaran uang.
Besaran GWM adalah 5% dari dana pihak ketiga yang berbentuk IDR (rupiah) dan 3% dari dana pihak ketiga yang berbentuk mata uang asing. Jumlah tersebut dihitung dari rata-rata harian dalam satu masa laporan untuk periode dua masa laporan sebelumnya. Sedangkan dana pihak ketiga yang dimaksud adalah dalam bentuk berikut :
a. Giro Wadiah;
b. Tabungan mudharabah;
c. Deposito investasi mudharabah; dan
d. Kewajiban lainnya.
Dana pihak ketiga dalam IDR tidak termasuk dana yang diterima oleh bank Indonesia dan BPR. Sedangkan dana pihak ketiga dalam mata uang asing meliputi kewajiban dalam mata uang asing kepada pihak ketiga, termasuk bank dan Bank Indonesia yang terdiri atas :
a. Giro Wadiah;
b. Deposito investasi mudharabah; dan
c. Kewajiban lainnya.
Bank Indonesia mengenakan denda terhadap kesalahan dan keterlambatan penyampaian laporan mingguan yang digunakan untuk menentukan GWM. Bank yang melakukan pelanggaran GWM juga terkena sanksi.
2. Sertifikat Investasi Mudharabah antar Bank Syariah (Sertifikat IMA): yaitu instrumen yang digunakan oleh bank-bank syariah yang mengalami kelebihan dana untuk mendapatkan keuntungan. Di lain pihak digunakan sebagai sarana penyedia dana jangka pendek bagi bank-bank syariah yang mengalami kekurangan dana.
Baca juga : Awal Perkembangan Perbankan Syariah di Berbagai Negara
Sertifikat ini berjangka waktu 90 hari, diterbitkan oleh kantor pusat bank syariah dengan format dan ketentuan standar yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pemindahtanganan sertifikat IMA hanya dapat dilakukan oleh bank penanam dana pertama, sedangkan bank penanam dana kedua tidak diperkenankan memindahtangankan kepada pihak lain sampai berakhirnya jangka waktu. Pembayaran dilakukan oleh Bank syariah penerbit sebesar nilai nominal ditambah imbalan bagi hasil (yang dibayarkan awal bulan berikutnya dengan nota kredit melalui kliring, biyet giro Bank Indonesia, atau transfer elektronik).
3. Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI): yaitu instrumen Bank Indonesia sesuai dengan syariah islam yang digunakan dalam OMO (Open Market Operation). SWBI juga dapat digunakan oleh bank-bank syariah yang kelebihan likuiditas sebagai sarana penitipan dana jangka pendek.
Dalam operasionalnya, SWBI mempunyai nilai nominal minimum RP 500 juta dengan jangka waktu dinyatakan dalam hari (misalnya: 7 hari,14 hari, 30 hari). Pembayaran dan pelunasan SWBI dilakukan melalui debet/kredit rekening giro bank Indonesia. Jika jatuh tempo, dana akan dikembalikan bersama bonus yang ditentukan berdasarkan parameter Sertifikat IMA.
0 Response to "Instrumen Bank Sentral Indonesia dalam Mengelola Bank Syariah"
Posting Komentar